Monday, April 21, 2008

Foto Porno;Lahan Bisnis yang Menguntungkan dalam Budaya Patriakhi

Posted by: Siwi Kurniawati (21187)


Kecanggihan teknologi tidak selalu berdampak positive. Tergantung, kuasa apa dibalik teknologi. Adanya teknologi digital, mempermudah manusia untuk bebas berekspresi dengan hasil yang memuaskan. Namun sayang, kebebasan berekspresi tersebut menerjang batas-batas nilai dan norma. Apalagi, ditambah dengan kecanggihan komputer kita dapat mengedit obyek foto sesuai apa yang kita inginkan. Kita dapat mengkombinasikan atau mengedit berbagai obyek dalam satu gambar. Tubuh kita yang tidak langsing, dapat dipermak bak Marilyn Monroe yang aduhai, tubuh yang tertutup dapat dibuat polos dengan berbagai pose. Bahkan dengan kecanggihan dan kemudahan penggunaan teknologi digital, aktivitas pribadi yang dilakukan perempuan menjadi target kejahatan pornografi tanpa sepengetahuan/izin atau kehendak perempuan tersebut, baik saat melakukan pengambilan gambar maupun pada saat penyebarluasannya. Hasil foto-foto tersebut dapat kita temukan di berbagai media, bahkan sudah menjadi pemandangan yang lumrah.
Foto-foto bugil, yang asli maupun editan memang sengaja ditampilkan oleh media. Dengan begitu, omzet penjualan terdongkrak. Lihatlah majalah playboy dan penthouse. Majalah tersebut justru merajai dunia dibandingkan majalah-majalah lainnya, seperti Vogue, New Look, People, dll. Lihat juga dalam foto-foto syur internet, dimana para artis benar-b.enar bugil atau sengaja dibuat bugil tanpa sepengetahuan sang artis. Lihat pula dalam rekaman video, yang mengambil gambar aktivitas pribadi tanpa izin/kehendak perempuan tersebut. Biasanya, gambar-gambar tersebut menjadi booming, apalagi yang menjadi objek adalah sang artis yang lumayan terkenal. Oplah penjualan majalah/tabloid meningkat dan beritanya menjadi bahan dalam entertainment jika media menyuguhkan sang artis tersebut. Sungguh sebuah lahan bisnis yang menggiurkan.
Realitas diatas merupakan sebuah fenomena simbolik dari budaya patriakhi pada masyarakat modern dengan narasi kapitalisme. Media massa mengakumulasikan modalnya dengan ‘memanfaatkan’ struktur sosial kita. Struktur Patriakhi seolah blessing in disgues bagi perusahaan media.
Seksualitas Perempuan dalam balutan media
Selama budaya patriarki masih memiliki pengaruh kuat, pornografi tidak dapat dipisahkan dari perempuan. Masyarakat dikonstruksi untuk menganggap bahwa perempuan adalah pelayan seksual laki-laki dan bagian-bagian tertentu dari tubuh perempuan merupakan daya tarik seksualnya. Sebagai lembaga bisnis, media massa akan cenderung menyajikan muatan yang tidak bertentangan dengan "arus utama" budaya masyarakat. Maka dari itulah, seksualitas perempuan menjadi komoditas dalam media massa. Hal ini seolah menegaskan akan terminology Simone de Beavoir dalam bukunya The Second Sex dimana keberadaan perempuan merupakan golongan kelas dua. Kondisi ini pulalah yang berpengaruh pada sebuah tindakan yang tidak adil, kekerasan perempuan menjadi sesuatu yang wajar. Dalam konteks itu mengorbankan perempuan dalam media massa, menjual foto porno dan mengeksploitasi tubuh perempuan adalah pilihan bisnis media dalam konteks budaya Patriakhi.
Dalam ekonomi kapitalis fungsi tubuh perempuan bukan semata-mata hanya sebagai alat biologis tetapi juga bisa dimanfaatkan sebagai alat komoditi. Tubuh menjadi bagian semiotika komoditi kapitalis yang diperjual belikan tanda, makna, dan hasrat (hasrat biologis dan hasrat kapitalis), inilah yang dimaksud Julia Kristeva sebagai bahasa laki-laki, yang menindas. Ketika perempuan terus menerus ditampilkan sebagai objek seks media, maka khalayak pria akan menerima pembenaran dalam memandang bahwa perempuan pada dasarnya adalah kaum yang fungsi utamanya adalah memuaskan nafsu seksual pria (Kristeva, via internet)
Dengan demikian, perempuan diturunkan derajatnya sekadar sebagai objek seks. Akibatnya, tertanam anggapan bahwa "kekuatan" utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti, kepribadian, kecerdasan dan intelktualitas. Media massa sangat mungkin mengukuhkan penindasan terhadap perempuan dalam beragam cara yang mungkin tidak "diniatkan". Bahkan materi seks yang tidak mengandung eksploitasi perempuan pun, dalam jangka panjang, bisa merugikan perempuan. Ironisnya, objektivikasi ini banyak tidak disadari, karena sifat dari objektivikasi sendiri adalah menghambat kesadaran.
Media tidaklah netral, dimana berbagai kepentingan dan kekuasaan terselubung acapkali diselipkan. Foto-foto bugil di berbagai media merupakan fenomena simbolik akan pembenaran dari budaya patriakhi.. Kita tidak sadar akan hal itu, karena ideology Patriakhi dikemas secara menarik sehingga membangkitkan kesadaran palsu budaya kita. Inilah sifat ambivalen dari anak kandung kapitalisme, media massa yang berkahnya hanya dapat dinikmati bagi kalangan pemilik modal (the have), dengan menyuguhkan isu-isu yang menghambat kesadaran kaum perempuan melewati media. Disinlah para kapitalis semakin kaya dengan jalan menindas perempuan melewati foto porno dalam media. Hal inilah suatu ketidakadilan bagi perempuan, dan bahkan perempuan itu sendiri tidak menyadarinya.

2 comments:

Anonymous said...

wah kita juga sedih melihat pornografi di dunia maya.kemarin hari minggu juga ada diskusi mengenai pornografi di masjig kampus ugm yang menarik ternyata dari data google yogyakarta menjadi kota terbanyak yang mengakses kata "miyabi" salah satu artis porno terkenal dari jepang

tapi ya gimana lagi warnet yang tidak ada film pornonya kenyataan di lapangan sepi pengunjung

ya semacam eksploitasi tubuh kaum hawa

(diposting di kelas sehabis kul dimsostek)

Anonymous said...

Hmmm...Tulisan yang panjang...
aku pernah dapat tips, kalo posting blog sebaiknya jangan panjang-panjang karena bisa bikin borong pengunjung.
pornografi memang marak apa lagi di internet, pada kenyataanya bukan saja di majalah, bisnis pornografi melalui internet juga paling laris lho...
Aku rasa dengan internet, akan memudahkan para penikmat pornografi, karena akses pronografi dari internet lebih jauh dari sanksi sosial, karena sifatnya yang lebih privat, bisa dari hand phone atau dari warnet yang tempatnya tersekat-sekat, maupun pemilik lap top yang bisa menentukan tempat strategis sendiri untuk mengakses apapun yang sifatnya privasi.
-nik-