Thursday, April 10, 2008

Film Laris di Indonesia Haruskah Selalu Eksploitasi Tubuh

Posted by: Dismas Hayu (21066)

Industri perfilman Indonesia sudah semakin berkembang, hal ini dapat dilihat dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. Semenjak berakhirnya masa film Catatan si Boy, Warkop DKI dan Benjamin S, industri perfilman Indonesia mengalami mati suri yang sangat menyedihkan. Tidak banyak film yang banyak diproduksi setelah era tersebut hingga akhir tahun 90-an.

Pada awal tahun 2000, Miles Production mengeluarkan Petualangan Sherina (2000) sebuah film anak anak yang memiliki nilai pendidikan sekaligus menjadi pemuas dahaga masyarakat Indonesia akan film. Setelah itu pada tahun berikutnya kembali muncul film dengan tema berbeda yakni drama cinta siswa SMA dengan judul Ada Apa Dengan Cinta (2001). Kedua film tersebut seolah menjadi pembuka berkembanganya industri perfilman Indonesia pada tahun tahun berikutnya. Hal ini dapat dilihat begitu banyaknya film yang bermunculan sesudah kedua film tersebut berhasil meledak di pasaran.

Sangat menyedihkan apabila kemudian genre perfilman Indonesia harus diisi dengan tema tema yang monoton. Ketika tema yang tengah beredar mengenai percintaan, maka film yang akan beredar di pasaran pun film dengan tema tema yang sejenis,mulai dari percintaan anak anak SMA sampai kisah cinta anak kecil (ex:I Love U OM,2006). Lain lagi yang beredar jika tema yang sedang trend adalah tema seputar horor, maka akan muncul puluhan bahkan mungkin ratusan film horor baik yang box office maupun bukan, mulai dari yang sangat menyeramkan, komedi horor, sampai yang benar benar menjenuhkan dan membuat kita tertawa. Bukan karena filmnya atau setannya kurang menyeramkan akan tetapi jalan cerita dan juga akting dari pemainnya yang justru membuat kita tertawa dan berkomentar “film kayak gini kok bisa dijual dan ada yang nonton yah?”

Belum lagi komedi yang menjenuhkan, sarat akan guyonan berbau seks serta kata kata yang semakin tidak lolos sensor (ex: umpatan kasar, umpatan bernada seks). Industri perfilman kita seolah membuat film tidak lagi melihat kualitas akan tetapi hanya melihat sisi laris atau tidakanya, menjual atau tidak serta trend atau tidak. Banyak hal yang kemudian menjadi dipaksakan dalam sebuah proses pembuatan film, mulai dari tema, jalan cerita hingga akting dari para pemainnya.

Dalam perkembangan 3 tahun terakhir ini, dapat kita lihat kesamaan dari film film yang banyak beredar di Indonesia. Banyak diantaranya menyinggung seksualitas, mulai dari percintaan, adegan mesra dalam film anak anak sampai adegan perkosaan yang seolah olah itumenjadi daya tarik tersendiri dalam sebuah film walaupun dengan konsekuensi melenceng dari jalan cerita atau jalan cerita yang menjadi seolah dipaksakan.

Menghibur memang. Bebrapa film komedi yang belum lama beredar di bioskop seperti The Bijis, Quickle Express, Kawin Kontrak, Otomatis Romantis ,Mengejar Mas Mas, Maaf Saya Menghamili Istri Anda,dan masih banyak lagi hingga yang terakhir beredar adalah DO (Drop Out), secara keseluruhan film tersebut banyak mengandung unsur seksualitas yang mungkin bagi sebagian orang menghibur dan bagi sebagian yang lain menjadi menjemukkan dan menjijikkan.

Dengan melihat perfilman adalah sebuah industri yang sarat dengan teknologi di dalamnya, saya akan menghubungkannya dengan kuliah Pendidikan Kemasyarakatan (Sosiatri). Terutama dalam hal ini berkaitan dengan perfilman yang beredar dan berkembang di Indonesia yang semakin lama semakin menurun kualitasnya dan semakin sarat akan pornografi terselubung yang dimuat di dalamnya.

Dalam mata kuliah Pendidikan Kemasyarakatan, banyakj yang dapat dipelajari mengenai pendidikan baik dalam bentuk moral maupun pendidikan etika yang berkembang di masyarakat dimana persebarannya melalui media elektronik maupunmedia lainnya. Dapat kita lihat bagaimana masyarakat dididik melalui media untuk bisa mengkritis setiap perkembangan yang ada dan menyikapi hal tersebut sebagai sebuah pelajaran baik bagi mereka.

Dalam perfilman Indonesia yang terdapat adegan adegan seksual terdapat banyak kritik untuk pendidikan di masyarakat terlebih bagi anak anak usia 17 tahun ke bawah. Mengapa? Karena usia 17 tahun merupakan usia pendewasaan diri dimana manusia tidak lagi disebut anak anak tetapi juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Sebelum masa ini, anak anak haruslah diberikan pengarahan tentang bagaimana yang sebaiknya dan bagaimana yang tidak.

Adapun keterkaitan antara usia tersebut dengan perfilman Indonesia yang sarat akan Sexualitas adalah bahwa penjagaan dan pengawasan film di Indonesia masih belum ketat. Fungsi dan peran orang tua, keluarga, saudara masih sangat digunakan di Indonesia sebagai pembimbing anak anak dalam mengarahkan film mana yang sebaiknya ditonton serta film mana yang sebaiknya tidak. Munculnya banyak film berbau seks memang ada sisi positif yang dapat dilihat, yaitu sebagai media untuk pendidikan seks anak anak dan remaja. Akan tetapi kerap kali masyarakat terkecoh, dimana ketika film tersebut dikatakan komedi atau horor, tetap saja ada isi film yang adegannya berbau seks seperti perkosaan dan percintaan (ex: Sundel Bolong). Belum lagi banyak orang tua yang kurang memerhatikan hiburan yang baik untuk anak anak mereka (di bioskop) ditambah kritis dan antusiasme anak anak dan remaja saat ini untuk menonton di bioskop yang tidak diimbangi dengan peraturanyang melindungi konsumen dari pendidikan yang berlebihan dan tidak tepat.

Teknologi yang semakin berkembang di dunia perfilman Indonesia seharusnya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan yang baik untuk masyarakat, tidak saja untuk mendapatkan untung yang sebesar besarnya. Sudah saatnya teknologi dalam industri perfilman digunakan sebagai sarana pendidikan masyarakat baik sejarah, pendidikan moral maupun pendidikan seks sekalipun, dengan catatan disebarluaskan sebagaimana seharusnya dengan peringatan sebelumnya bahwa usis 17 tahun ke bawah harus diberikan pendampingan.

Film film dengan tema mendidik masih sangat jarang kita jumpai di Indonesia, setelah Petualangan Sherina (2000), Joshua Oh Joshua (2002), Naga Bonar Jadi 2 (2007), adakah film film lain yang mampu menggebrak dunia industri perfilman Indonesia dengan tema yang mendidik dan adegan yang juga tidak hanya sekadar menjual tapi juga sarat akan totalitas dan penghayatan karakter disana.

Semoga Indonesia mampu menggunakan teknologi film sebagai sarana pendidikan. Sehingga diharapkan film film yang berkualitas rendah dengan hanya menampilkan adegan adegan berbau seksual dapat semakin berkurang. Hal ini tentunya akan berdampak sangat baik bagi pendidikan di masyarakat. Bagaimana masyarakat juga dapat pendidikan dari sebuah film, tidak hanya mendapatkan hiburannya saja.

No comments: