Monday, April 21, 2008

Pemblokiran Situs Porno dan Pertarungan Kuasa Pengetahuan

Posted by: Pratiwi (20905)

Dalam daya kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu

(Jürgen Habermas)

“Pupus sudah usahaku selama ini,” Ujar Arni dengan kesal karena mengetahui situs dengan domain multiply nya terblokir. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta tersebut menjual informasi melalui internet. Dengan blog yang dikunjungi ratusan kali perhari, ia dapat menghasilkan uang ratusan ribu per hari. Kisah ini berawal ketika ia iseng membuat blog yang berisi tulisan-tulisan ilmiahnya kemudian beberapa pengiklan tertarik untuk mengiklan di blog nya karena sering dikunjungi. Dari iklan tersebut, setiap pengunjung yang mengklik iklan tersebut maka si pemilik blog akan mendapatkan sekian rupiah. Namun, kini salah satu sumber keuangannya tersebut harus mampet karena domain multiply yang dipakainya diblokir pemerintah. Ia tak lagi bisa memperbarui isi situsnya atau memburu pengiklan lagi.

Pemblokiran beberapa domain situs dilaksanakan sebagai langkah awal pencegahan pornografi. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh, pemblokiran ini dilandari akal sehat[1]. Pemblokiran ini merupakan wujud tes pelaksanaan bagi Bab VII pasal 26 Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE). RUU ITE mengatur tentang keamanan transaksi elektronik, penyebaran informasi dan minimalisasi situs porno dan kekerasan. Namun, banyak pihak menyayangkan aksi pemerintah ini karena tak semua pengguna domain mengisikan hal-hal pornografi dalam situsnya. Bak membunuh satu tikus dengan membakar lumbung padi, pemblokiran ini dikecam banyak pihak karena dinilai tidak efektif.

Definisi Operasional Situs Porno , Fenomena Tentangnya dan Kuasa Hasrat

Perdebatan mengenai definisi pornografi di Indonesia yang majemuk memang tak pernah selesai. Namun, dalam tulisan ini pornografi dimaknai sebagai bentuk audio visual dari hal-hal yang mengarah pada pemujaan fetish, yakni simulasi sebagai subtitusi tubuh, sehingga dapat menimbulkan rangsangan seksual, bahkan orgasme. Misalnya, gambar atau video yang menampilkan orang yang sedang bercumbu, atau gambar-gambar yang menonjolkan bentuk tubuh yang ditampilkan tanpa busana. Dalam hal ini, situs porno dimaknai dengan halaman yang ditampilkan sejumlah alamat di dunia maya yang menampilkan pornografi.

Makin menjamurnya situs porno yang beredar di Indonesia, dilatarbelakangi oleh makin majunya pengetahuan. Pengetahuan ikut andil dalam perubahan kultur. Berkembangnya pengetahuan teknologi menggeser kultur yang tadinya sangat kaku menjadi lebih permisif dan samarnya ruang-ruang privat. Ini karena perkembangan teknologi yang maju makin membuka peluang pertukaran informasi melintasi ruang dan waktu. Pada titik ini kita dapat melihat bahwa terdapat kuasa hasrat dibalik pengetahuan.[2] Teknologi yang berkembang sebagai akibat dari pola pikir mekanik manusia yang positivis kemudian memberi jalan-jalan besar baru bagi penyaluran hasrat fetish secara lebih cepat. Kultur instan inilah yang mengakibatkan situs porno sebagai bagian dari pengetahuan berkembang pesat. Hasrat seksualitas terus mendorong manusia untuk memperbesar celah penyalurannya termasuk memlalui teknologi web dalam dunia maya.

Ketika Kuasa Hasrat Dilawan dengan Relasi Kuasa Lain, Pengetahuan, Moralitas

Apa yang diujarkan Habermas pada lead awal tulisan dipahami bahwa pada pengetahuan terdapat sebuah kepentingan. Pengetahuan berbicara tentang salah dan benar. Kebenaran bermuara pada eksistensi akan sesuatu. Representasi kesalahan atau kebenaran merupakan sebuah konsensus yang dapat dibawa dalam perdebatan yang penuh kepentingan. Pun kemudian pengetahuan akan teknologi yang merupakan hasil pola pikir mekanik dan positivisme manusia. Salah satu kepentingan dari positivisme yakni dengan mengklaim bahwa metodologi ilmiah sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang mungkin tentang kenyataan[3].

Relasi antara kekuasaan dan pengetahuan juga diamini oleh Michael Foucault. Menurutnya, kekuasaan telah menciptakan pengetahuan mengenai apa yang kita anggap sebagai suatu “kebenaran”, pengetahuan dikonstruksikan melalui wacana yang kemudian secara diskursif telah menciptakan kekuasaan untuk menjadikannya sebagai kebenaran[4]. Moralitas lalu lekat dengan unsur kebenaran. Kebenaran merupakan konstruksi konsensus bersama. Dalam konteks pemblokiran situs porno ini, Muhammad Nuh berujar bahwa pemblokiran situs porno lebih kepada visi moral. Ia juga menekankan bahwasanya masalah moralitas merupakan common sense universal value[5].

Moralitas lahir dari pembatasan akan nafsu-nafsu dalam diri manusia yang disepakati bersama. Hadirnya moralitas dalam norma masyarakat dijelaskan oleh Jacques Lacan. Menurutnya, secara psikis, nafsu manusia yang baru lahir diibaratkan seperti hommelette, yakni telur yang mencrat kesegala arah, untuk mencegahnya harus dibuat cetakan. Dalam cetakan tersebut, libido akan dibatasi agar di kehidupan selanjutnya tak mampu untuk mengalir secara lengkap melalui daerah erotis.[6] Pembatasan inilah yang kemudian memunculkan moralitas dan penciptaan istilah pornografi diikuti sejumlah pembatasan untuk mengaksesnya. Muara dari wujud pembatasan pornografi di Indonesia yakni munculnya RUU ITE yang salah satu pasalnya membatasi akses terhadap pertukaran informasi elektronik yang mengarah pada hal-hal pornografi. Bahwasanya pemerintah yang memiliki kuasa kemudian menciptakan pembatasan terhadap pertukaran informasi yang berbau porno. Semua dilakukan atas nama moralitas.

Dari dua penjelasan tentang kuasa hasrat dan perlawanan dari moralitas untuk mengontrol hasrat jelaslah bahwa pengetahuan yang merasuk ke dalam elemen masyarakat menjadi tak pernah lepas dari kepentingan. Bukan tak mungkin suatu saat akan ada situs tandingan yang dapat menembus batas-batas pemblokiran situs atau domain yang mengandung unsur pornografi. Teknologi baru situs tandingan lahir karena sebuah kepentingan untuk melawan kontrol pemerintah. Atau bisa juga pemblokian ini dihentikan setelah ada pelbagai argumen tandingan logis dan kecaman dari masyarakat mayoritas yang lebih berkuasa. Bukan tak mungkin lagi, pemerintah akan terus mencari teknologi-teknologi baru untuk melawan semua yang menghalangi kepentingannya. Adanya pihak-pihak baru yang ikut bertanding dalam persaingan kepentingan dalam ranah ilmu pengetahuan juga dimungkinkan bisa menjadi peserta baru.



[1] Antara News, 25 Maret 2008

[2] Audifax, 2006: Imagining Lara Croft; Psikosemiotika, Hiperealitas dan Simbol Ketaksadaran. Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 228.

[3] Budi Hardiman, Fransisco, 2004: Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jürgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, hlm.127

[4] Arie Setyaningrum dalam RPKPS mata kuliah sosiologi budaya, Jurusan Sosiologi UGM, 2007

[5] Antara News, 25 Maret 2008

[6] Lemaire, Anika, terj. David Macey, 1970: Jacques Lacan. London: Routlege & Kegan Paul, hlm 127.

1 comment:

ngobrol said...

pornografi ... pornografi ... pornografi ... satu kata yang selalu menjadi perdebatan dari jaman dahulu kala. di era globalisasi ini, semakin kabur batasan yang mana pornografi dan yang mana seni karena terdapat pergeseran makna pornografi itu sendiri. saya sangat setuju apabila dikatakan untuk mencegah laju pornografi dimulai dari diri sendiri. karena jika dilihat dari karakteristik orang indonesia, yang semakin dilarang malah semakin nekat, maka semua usaha pemblokiran tersebut menjadi sia2. pendidikan seks yang benar perlu diajarkan semenjak dini agar anak2 muda tidak lagi penasaran akan hal2 yang berbau pornografi. karena kebanyakan, pengguna website mesum adalah anak abg, yang notabene masih besar rasa ingin tahunya.
jadi tidak perlulah sampai memblokir situs segala. karena pemblokiran situs merugikan banyak orang yang mempunyai kepentingan lain. yang kedua, kita jangan melupakan hacker yang selalu lebih pintar dalam urusan menjebol pertahanan ..
jadi, mulailah bijak berpikir mulai sekarang ...