Thursday, May 22, 2008

THEORY PENYIMPANGAN

by : Lalita (21091)


Teori yang sesuai terhadap kasus pornografi lewat ponsel dapat menggunakan Teori Penyimpangan Learning Theory dan Sub-culture Theory.

LEARNING THEORY dan SUB-CULTURE THEORY

Dua teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud dan Gabriel Tarde, yang ditampilkan dengan maksud ingin membantah pendapatnya Lomborso yang menyatakan bahwa perilaku menyimpang merupakan sesuatu yang bersifat bawaan lahir.

Freud dan Tarde berpendapat bahwa perilaku menyimpang tidak selalu memerlukan dukungan fisik, akan tetapi bisa saja terjadi melalui proses belajar, jadi seseorang yang tidak potensial pun, apabila “ia” mau mencoba – coba, bisa saja suatu saat akan menjadi seseorang yang biasa melakukan penyimpangan (Theory Learning)

Tidak begitu berbeda dengan teori learning, teori subculture juga menyatakan bahwa perilaku menyimpang tidak selalu memerlukan dukungan fisik, sebab perilaku menyimpang dekat terjadi dan terproses sebagaimana proses terjadinya suatu kebudayaan, hanya saja perilaku jenis ini belum sampai pada tingkat disepakati bersama, jadi masih dianggap sebagai bagian atau sub saja dari suatu kebudayaan.

Monday, April 21, 2008

Foto Porno;Lahan Bisnis yang Menguntungkan dalam Budaya Patriakhi

Posted by: Siwi Kurniawati (21187)


Kecanggihan teknologi tidak selalu berdampak positive. Tergantung, kuasa apa dibalik teknologi. Adanya teknologi digital, mempermudah manusia untuk bebas berekspresi dengan hasil yang memuaskan. Namun sayang, kebebasan berekspresi tersebut menerjang batas-batas nilai dan norma. Apalagi, ditambah dengan kecanggihan komputer kita dapat mengedit obyek foto sesuai apa yang kita inginkan. Kita dapat mengkombinasikan atau mengedit berbagai obyek dalam satu gambar. Tubuh kita yang tidak langsing, dapat dipermak bak Marilyn Monroe yang aduhai, tubuh yang tertutup dapat dibuat polos dengan berbagai pose. Bahkan dengan kecanggihan dan kemudahan penggunaan teknologi digital, aktivitas pribadi yang dilakukan perempuan menjadi target kejahatan pornografi tanpa sepengetahuan/izin atau kehendak perempuan tersebut, baik saat melakukan pengambilan gambar maupun pada saat penyebarluasannya. Hasil foto-foto tersebut dapat kita temukan di berbagai media, bahkan sudah menjadi pemandangan yang lumrah.
Foto-foto bugil, yang asli maupun editan memang sengaja ditampilkan oleh media. Dengan begitu, omzet penjualan terdongkrak. Lihatlah majalah playboy dan penthouse. Majalah tersebut justru merajai dunia dibandingkan majalah-majalah lainnya, seperti Vogue, New Look, People, dll. Lihat juga dalam foto-foto syur internet, dimana para artis benar-b.enar bugil atau sengaja dibuat bugil tanpa sepengetahuan sang artis. Lihat pula dalam rekaman video, yang mengambil gambar aktivitas pribadi tanpa izin/kehendak perempuan tersebut. Biasanya, gambar-gambar tersebut menjadi booming, apalagi yang menjadi objek adalah sang artis yang lumayan terkenal. Oplah penjualan majalah/tabloid meningkat dan beritanya menjadi bahan dalam entertainment jika media menyuguhkan sang artis tersebut. Sungguh sebuah lahan bisnis yang menggiurkan.
Realitas diatas merupakan sebuah fenomena simbolik dari budaya patriakhi pada masyarakat modern dengan narasi kapitalisme. Media massa mengakumulasikan modalnya dengan ‘memanfaatkan’ struktur sosial kita. Struktur Patriakhi seolah blessing in disgues bagi perusahaan media.
Seksualitas Perempuan dalam balutan media
Selama budaya patriarki masih memiliki pengaruh kuat, pornografi tidak dapat dipisahkan dari perempuan. Masyarakat dikonstruksi untuk menganggap bahwa perempuan adalah pelayan seksual laki-laki dan bagian-bagian tertentu dari tubuh perempuan merupakan daya tarik seksualnya. Sebagai lembaga bisnis, media massa akan cenderung menyajikan muatan yang tidak bertentangan dengan "arus utama" budaya masyarakat. Maka dari itulah, seksualitas perempuan menjadi komoditas dalam media massa. Hal ini seolah menegaskan akan terminology Simone de Beavoir dalam bukunya The Second Sex dimana keberadaan perempuan merupakan golongan kelas dua. Kondisi ini pulalah yang berpengaruh pada sebuah tindakan yang tidak adil, kekerasan perempuan menjadi sesuatu yang wajar. Dalam konteks itu mengorbankan perempuan dalam media massa, menjual foto porno dan mengeksploitasi tubuh perempuan adalah pilihan bisnis media dalam konteks budaya Patriakhi.
Dalam ekonomi kapitalis fungsi tubuh perempuan bukan semata-mata hanya sebagai alat biologis tetapi juga bisa dimanfaatkan sebagai alat komoditi. Tubuh menjadi bagian semiotika komoditi kapitalis yang diperjual belikan tanda, makna, dan hasrat (hasrat biologis dan hasrat kapitalis), inilah yang dimaksud Julia Kristeva sebagai bahasa laki-laki, yang menindas. Ketika perempuan terus menerus ditampilkan sebagai objek seks media, maka khalayak pria akan menerima pembenaran dalam memandang bahwa perempuan pada dasarnya adalah kaum yang fungsi utamanya adalah memuaskan nafsu seksual pria (Kristeva, via internet)
Dengan demikian, perempuan diturunkan derajatnya sekadar sebagai objek seks. Akibatnya, tertanam anggapan bahwa "kekuatan" utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti, kepribadian, kecerdasan dan intelktualitas. Media massa sangat mungkin mengukuhkan penindasan terhadap perempuan dalam beragam cara yang mungkin tidak "diniatkan". Bahkan materi seks yang tidak mengandung eksploitasi perempuan pun, dalam jangka panjang, bisa merugikan perempuan. Ironisnya, objektivikasi ini banyak tidak disadari, karena sifat dari objektivikasi sendiri adalah menghambat kesadaran.
Media tidaklah netral, dimana berbagai kepentingan dan kekuasaan terselubung acapkali diselipkan. Foto-foto bugil di berbagai media merupakan fenomena simbolik akan pembenaran dari budaya patriakhi.. Kita tidak sadar akan hal itu, karena ideology Patriakhi dikemas secara menarik sehingga membangkitkan kesadaran palsu budaya kita. Inilah sifat ambivalen dari anak kandung kapitalisme, media massa yang berkahnya hanya dapat dinikmati bagi kalangan pemilik modal (the have), dengan menyuguhkan isu-isu yang menghambat kesadaran kaum perempuan melewati media. Disinlah para kapitalis semakin kaya dengan jalan menindas perempuan melewati foto porno dalam media. Hal inilah suatu ketidakadilan bagi perempuan, dan bahkan perempuan itu sendiri tidak menyadarinya.

Pemblokiran Situs Porno dan Pertarungan Kuasa Pengetahuan

Posted by: Pratiwi (20905)

Dalam daya kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan adalah satu

(Jürgen Habermas)

“Pupus sudah usahaku selama ini,” Ujar Arni dengan kesal karena mengetahui situs dengan domain multiply nya terblokir. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta tersebut menjual informasi melalui internet. Dengan blog yang dikunjungi ratusan kali perhari, ia dapat menghasilkan uang ratusan ribu per hari. Kisah ini berawal ketika ia iseng membuat blog yang berisi tulisan-tulisan ilmiahnya kemudian beberapa pengiklan tertarik untuk mengiklan di blog nya karena sering dikunjungi. Dari iklan tersebut, setiap pengunjung yang mengklik iklan tersebut maka si pemilik blog akan mendapatkan sekian rupiah. Namun, kini salah satu sumber keuangannya tersebut harus mampet karena domain multiply yang dipakainya diblokir pemerintah. Ia tak lagi bisa memperbarui isi situsnya atau memburu pengiklan lagi.

Pemblokiran beberapa domain situs dilaksanakan sebagai langkah awal pencegahan pornografi. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh, pemblokiran ini dilandari akal sehat[1]. Pemblokiran ini merupakan wujud tes pelaksanaan bagi Bab VII pasal 26 Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE). RUU ITE mengatur tentang keamanan transaksi elektronik, penyebaran informasi dan minimalisasi situs porno dan kekerasan. Namun, banyak pihak menyayangkan aksi pemerintah ini karena tak semua pengguna domain mengisikan hal-hal pornografi dalam situsnya. Bak membunuh satu tikus dengan membakar lumbung padi, pemblokiran ini dikecam banyak pihak karena dinilai tidak efektif.

Definisi Operasional Situs Porno , Fenomena Tentangnya dan Kuasa Hasrat

Perdebatan mengenai definisi pornografi di Indonesia yang majemuk memang tak pernah selesai. Namun, dalam tulisan ini pornografi dimaknai sebagai bentuk audio visual dari hal-hal yang mengarah pada pemujaan fetish, yakni simulasi sebagai subtitusi tubuh, sehingga dapat menimbulkan rangsangan seksual, bahkan orgasme. Misalnya, gambar atau video yang menampilkan orang yang sedang bercumbu, atau gambar-gambar yang menonjolkan bentuk tubuh yang ditampilkan tanpa busana. Dalam hal ini, situs porno dimaknai dengan halaman yang ditampilkan sejumlah alamat di dunia maya yang menampilkan pornografi.

Makin menjamurnya situs porno yang beredar di Indonesia, dilatarbelakangi oleh makin majunya pengetahuan. Pengetahuan ikut andil dalam perubahan kultur. Berkembangnya pengetahuan teknologi menggeser kultur yang tadinya sangat kaku menjadi lebih permisif dan samarnya ruang-ruang privat. Ini karena perkembangan teknologi yang maju makin membuka peluang pertukaran informasi melintasi ruang dan waktu. Pada titik ini kita dapat melihat bahwa terdapat kuasa hasrat dibalik pengetahuan.[2] Teknologi yang berkembang sebagai akibat dari pola pikir mekanik manusia yang positivis kemudian memberi jalan-jalan besar baru bagi penyaluran hasrat fetish secara lebih cepat. Kultur instan inilah yang mengakibatkan situs porno sebagai bagian dari pengetahuan berkembang pesat. Hasrat seksualitas terus mendorong manusia untuk memperbesar celah penyalurannya termasuk memlalui teknologi web dalam dunia maya.

Ketika Kuasa Hasrat Dilawan dengan Relasi Kuasa Lain, Pengetahuan, Moralitas

Apa yang diujarkan Habermas pada lead awal tulisan dipahami bahwa pada pengetahuan terdapat sebuah kepentingan. Pengetahuan berbicara tentang salah dan benar. Kebenaran bermuara pada eksistensi akan sesuatu. Representasi kesalahan atau kebenaran merupakan sebuah konsensus yang dapat dibawa dalam perdebatan yang penuh kepentingan. Pun kemudian pengetahuan akan teknologi yang merupakan hasil pola pikir mekanik dan positivisme manusia. Salah satu kepentingan dari positivisme yakni dengan mengklaim bahwa metodologi ilmiah sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang mungkin tentang kenyataan[3].

Relasi antara kekuasaan dan pengetahuan juga diamini oleh Michael Foucault. Menurutnya, kekuasaan telah menciptakan pengetahuan mengenai apa yang kita anggap sebagai suatu “kebenaran”, pengetahuan dikonstruksikan melalui wacana yang kemudian secara diskursif telah menciptakan kekuasaan untuk menjadikannya sebagai kebenaran[4]. Moralitas lalu lekat dengan unsur kebenaran. Kebenaran merupakan konstruksi konsensus bersama. Dalam konteks pemblokiran situs porno ini, Muhammad Nuh berujar bahwa pemblokiran situs porno lebih kepada visi moral. Ia juga menekankan bahwasanya masalah moralitas merupakan common sense universal value[5].

Moralitas lahir dari pembatasan akan nafsu-nafsu dalam diri manusia yang disepakati bersama. Hadirnya moralitas dalam norma masyarakat dijelaskan oleh Jacques Lacan. Menurutnya, secara psikis, nafsu manusia yang baru lahir diibaratkan seperti hommelette, yakni telur yang mencrat kesegala arah, untuk mencegahnya harus dibuat cetakan. Dalam cetakan tersebut, libido akan dibatasi agar di kehidupan selanjutnya tak mampu untuk mengalir secara lengkap melalui daerah erotis.[6] Pembatasan inilah yang kemudian memunculkan moralitas dan penciptaan istilah pornografi diikuti sejumlah pembatasan untuk mengaksesnya. Muara dari wujud pembatasan pornografi di Indonesia yakni munculnya RUU ITE yang salah satu pasalnya membatasi akses terhadap pertukaran informasi elektronik yang mengarah pada hal-hal pornografi. Bahwasanya pemerintah yang memiliki kuasa kemudian menciptakan pembatasan terhadap pertukaran informasi yang berbau porno. Semua dilakukan atas nama moralitas.

Dari dua penjelasan tentang kuasa hasrat dan perlawanan dari moralitas untuk mengontrol hasrat jelaslah bahwa pengetahuan yang merasuk ke dalam elemen masyarakat menjadi tak pernah lepas dari kepentingan. Bukan tak mungkin suatu saat akan ada situs tandingan yang dapat menembus batas-batas pemblokiran situs atau domain yang mengandung unsur pornografi. Teknologi baru situs tandingan lahir karena sebuah kepentingan untuk melawan kontrol pemerintah. Atau bisa juga pemblokian ini dihentikan setelah ada pelbagai argumen tandingan logis dan kecaman dari masyarakat mayoritas yang lebih berkuasa. Bukan tak mungkin lagi, pemerintah akan terus mencari teknologi-teknologi baru untuk melawan semua yang menghalangi kepentingannya. Adanya pihak-pihak baru yang ikut bertanding dalam persaingan kepentingan dalam ranah ilmu pengetahuan juga dimungkinkan bisa menjadi peserta baru.



[1] Antara News, 25 Maret 2008

[2] Audifax, 2006: Imagining Lara Croft; Psikosemiotika, Hiperealitas dan Simbol Ketaksadaran. Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 228.

[3] Budi Hardiman, Fransisco, 2004: Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jürgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, hlm.127

[4] Arie Setyaningrum dalam RPKPS mata kuliah sosiologi budaya, Jurusan Sosiologi UGM, 2007

[5] Antara News, 25 Maret 2008

[6] Lemaire, Anika, terj. David Macey, 1970: Jacques Lacan. London: Routlege & Kegan Paul, hlm 127.

Melacak Indikasi Pornografi Melalui Avatar di Chatroom

Posted By: Shalina Nur Hana (21021)

Chat room adalah 'ruangan-ruangan' di Internet yang para penggunanya dapat saling bercakap-cakap secara langsung melalui pesan berupa teks di layar komputer. Chat room dapat menampung sejumlah besar orang, yang dapat saling membaca dan menjawab pesan ( www.angelfire.com). Di sana kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Dimanapun dan kapanpun asal kita memiliki koneksi internet, dialog tentang berbagai hal dapat langsung dilakukan.
Dengan adanya teknologi yang semakin canggih ini memang semakin memudahkan kita untuk mendapat informasi tentang sesuatu secara lebih mendetail ( jika kita berdialog dengan pakarnya ) bahkan tak jarang chat room juga menjadi media untuk mencari teman kencan atau malah ajang mencari jodoh. Untuk yang terakhir memang ada hal-hal yang perlu diperhatikan apalagi dunia internet adalah dunia maya dimana setiap orang memiliki kebebasan untuk mengakses.
Di dalam chat room sendiri banyak juga orang yang memilih untuk menyembunyikan identitasnya. Mencoba bereksperimen menjadi pribadi di luar dirinya. Istilah Avatar yang dalam mata kuliah Psikologi Komunikasi diterjemahkan sebagai perilaku dimana seseorang menciptakan kepribadian baru di luar dirinya atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan keinginan audiens. Hal ini sah-sah saja apabila ingin dilakukan hanya saja kadang ada oknum yang kurang bertanggung jawab memilih untuk bersembunyi dalam kepribadiannya yang lain demi memenuhi rasa ingin tahu dan hasrat seksnya yang tidak dapat tersalurkan dalam dunia nyata. Apalagi karena identitas yang dapat dipalsukan itulah sehingga mereka merasa aman-aman saja untuk melakukannya saat chating.
Seperti pengalaman penulis sendiri yang pernah bergabung dalam salah satu chat room yang cukup populer. Dalam chat room tersebut kita dapat memilih nama-nama yang terpampang di layar komputer yang kemudian dapat kita undang untuk melakukan percakapan. Biasanya proses mengundang diawali dengan pertanyaan standar dan basa-basi seperti “ Asl pls?” ( asal please ) dan f atau m ( female atau male ). Ketika kita mendapat respon, pembicaraan dapat dilanjutkan sesuai dengan keinginan kedua pihak. Nama-nama yang dipilih atau biasa disebut nickname memang dibuat sebagus mungkin untuk menarik perhatian. Tak sedikit juga dari nama-nama tersebut yang sengaja dibuat “mengundang” seperti “co_maniak sex atau tante girang”. Dan bisa dipastikan yang memilih mengundang mereka pasti orang-orang yang memang ingin berbicara tentang segala sesuatu yang memiliki kaitan dengan seks. Namun tak jarang juga terdapat nickname yang terlihat sopan namun di tengah pembicaraan akhirnya mengeluarkan maksud aslinya.
Penulis sendiri pernah melakukan chatting dengan mereka yang memiliki nickname sopan namun ternyata memilik maksud yang kurang baik yakni menyalurkan hasrat seksualnya melalui percakapan yang menjurus pada hal-hal porno. Dalam hal ini kita yang memiliki maksud yang tidak sejalan dapat langsung meninggalkan ruangan atau tidak usah menanggapi apa yang mereka bicarakan.
Di Amerika pernah diungkap dalam salah satu Talkshow terkenal disana yaitu Oprah Winfrey Show yang menghadirkan seorang bintang tamu yang bekerja sama dengan polisi yang dan berhasil mengungkap kasus pelecehan seksual dalam chat room. Para pengguna chat room yang mereka selidiki mayoritas adalah para lelaki usia dewasa ( diatas 40 tahun ) yang berbicara tentang masalah seks dan menjurus pada pelecehan terhadap pengguna chat room yang lain yang ternyata adalah anak laki-laki yang masih di bawah umur. Bahkan ada juga yang mencoba mencoba melakukan kopi darat ( melakukan pertemuan di suatu tempat ) dengan para korbannya. Yang lebih mengejutkan lagi salah satu di antara mereka adalah rabi ( calon pendeta ).
Ironisnya di Amerika yang notabene merupakan negara liberal malah memiliki ketegasan hukum dan menindak mereka yang melakukan pelecehan seksual melalui chat room. Sedang Indonesia yang katanya merupakan negara beradab sepertinya malah memilih untuk menutup mata dan telinga pada hal tersebut. Untuk itu bagi pengguna chat room sebaiknya lebih berhati-hati jika hendak melakukan chatting. Lebih selektif dalam memilih teman dan jika terjadi hal-hal yang yang tidak diinginkan sebaiknya tidak usah ditanggapi atau dapat meninggalkan ruangan.

Polemik Dibalik Ikhtiar Baik Lembaga Sensor Film (LSF)

Posted By: Pipit Pradibta (21083)

SEJUMLAH sineas muda seperti Dian Sastro, Shanty, Riri Riza, Mira Lesmana, dan Nia Dinata yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) sepakat meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membubarkan Lembaga Sensof Film (LSF).Mereka menuntut uji materiil terhadap UU No 8 tahun 1992 tentang perfilman di Mahkamah Konstitusi, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (24/1). Dian memang menjadi saksi dalam persidangan. Bahkan sebelumnya, Dian berjanji akan menyampaikan semua uneg-unegnya tentang kinerja LSF. Dian dan kawan-kawan beranggapan kalau LSF sudah tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Menurut mereka, undang-undang nomor 8 tahun 1992 sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dengan animo perfilman Indonesia Sementara itu, sutradara film Deddy Mizwar dalam persidangan kemarin mengungkapkan kebebasan berekspresi di dunia perfilman Indonesia harus tetap diatur dan diawasi oleh sebuah lembaga dengan pedoman dan kinerja yang lebih baik dari LSF. Deddy yang berbicara sebagai Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) adalah Pihak Terkait Langsung dalam persidangan tentang Uji Matriil UU Perfilman yang diajukan oleh sejumlah insan perfilman yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI). Menurut Deddy lembaga baru yang dibentuk akan menggantikan Lembaga Sensor Film yang selama ini tidak relevan lagi. Sutradara film Nagabonar Jadi 2 dan Kiamat Sudah Dekat itu mengungkapkan LSF kini tidak ideal lagi sehingga banyak pedoman dan aturan di dalamnya yang harus diubah.
"Tapi bukan berarti kalau LSF tidak ada, peredaran film dan segala muatan di dalamnya lantas bisa seenaknya tanpa aturan. Aturan pasti ada, ibaratnya saya beli mobil apapun mereknya ya terserah saya, tapi kalau saya sudah berada di jalan raya maka saya harus tunduk pada aturan berlalu-lintas," ujarnya

lembaga sensor film merupakan suatu lembaga yang (lagi-lagi menurut saya) sebagai citra atau jati diri sebuah bangsa timur yang sedang berkembang. Bagi saya, lembaga sensor film Indonesia merupakan sebuah lembaga yang sangat2 bagus dan mutlak adanya di bangsa ini. Dengan adanya lembaga tersebut maka bangsa ini menunjukan kepedulian nya akan moral masyarakat terutama generasi penerus. Terlepas dari kinerja lembaga yang buruk, asal-asalan, atau seenaknya memotong film, bagi saya lembaga sensor film merupakan hal yang harus ada di bangsa ini. Saya tak begitu mengerti apa tujuan dari mereka yang (mengaku) sebagai masyarakat film atau apalah yang mengatakan dengan tidak adanya lembaga sensor maka masyarakat Indonesia bisa lebih cerdas dan ˜membuka mata pada keadaan sekitar. Kata-kata membuka mata menurut saya sangat relatif. Apabila mereka para pembuat film ingin menampilkan sesuatu yang mungkin sesuatu yang natural, atau cerdas, atau bagus, atau apalah..mengapa harus membubarkan lembaga sensor??mengapa tidak membenahi lembaga tersebut tanpa membubarkan nya.

sebuah film yang berkualitas adalah film yang bisa menampilkan sebuah makna yang berupa pembelajaran untuk suatu hal yang kemudian bisa membuat kita para penonton bisa mengambil hikmah POSITIF untuk dijadikan pola pemikiran di masa datang. Dan bagi saya, membuat film berkualitas seperti yang saya sebutkan itu tidak harus menampilkan sesuatu yang kejam, buruk, sadis, brutal, tau bahkan porno. Walaupun keadaan sebenarnya memang seperti itu. Come on guys, ini bangsa yang telah berbudaya selama ribuan tahun. Jangan mengubur atau menghapuskan semuanya hanya karena atas nama perubahan. Tidak selamanya perubahan itu membuat semuanya menjadi lebih baik.

Bagi saya pembenahan lembaga sensor film lebih utama dibandingkan membubarkan nya

Permintaan untuk meniadakan Lembaga Sensor Film Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang dimotori oleh sineas-sineas muda merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan pada beberapa tahun terakhir kondisi perfilman Indonesia mulai menunjukkan geliat kehidupan setelah lama mati suri. Namun tak disangka tatkala ruh perfilman mencoba untuk bangkit maka yang divonis sebagai penghambat utama perkembangannya adalah Lembaga Sensor Film.

Saya 100% yakin, Nia Dinata, Riri Reza tidak mungkin membuat film murahan Kemampuan mereka sbg film maker yg di atas rata-rata itu, adalah sebuah jaminan mutu atas sebuah film yg berani menaruh nama mereka sbg sutradara/produser. Martabat, reputasi merekalah yg menjadi taruhan. Jadi orang sekaliber mereka tidak mungkin membuat film bertema esek-esek, film-film yg bertema dekonstruksi moral, ADA atau TIDAK ADA Lembaga Sensor Film sekalipun. Pertanyaannya, berapa banyak sutradara/produser kita yg bisa bikin film bermutu? Mari hitung! Dan kita semua akan terhenyak karena yg eksis tak sampai hitungan jari. Sebut saja; Garin, Nia Dinata, Dedi Mizwar, Riri Reza dan Ari Sihasale. Hanya mereka yg istimewa. Cuma segelintir itulah yg berhasil membuat penonton film pulang dg membawa pesan moral. Sisanya ? Absurd.

90% film-film kita dangkal akan pesan moral. Artinya, jauh dan jauh lebih banyak sutradara / produser film yg bermain sebagai oportunis dari pada memberikan tayangan yg mendidik. Coba liat, berapa banyak film kita yg sarat pesan moral seperti Forrest Gump atau Children of Heaven? Jumlahnya setiap tahun tak sampai dua. Tapi hitung, berapa banyak film kita yg Cuma menyodorkan atribut artifisial yg dinikmati kasat mata? Buruan Cium Gue, Mendadak Dangdut atau film horor yg gak jelas apa maunya. Jumlahnya? Fantastis. Dengan rasio njomplang seperti ini, apa benar peran Lembaga Sensor Film tak lagi dibutuhkan?

Mari berandai-andai apabila para sutradara opportunis itu dibiarkan berkreasi tanpa LSF. Wow, pasti seru. Dapat dipastikan, ribuan judul carut marut akan rebutan berbagi banner utk dipasang di cinema2. Buruan Cium Gue mungkin akan berseri menjadi 7 episode, plus film-film remaja yg mungkin judulnya seabsurd filmnya, misalnya: Cium Gue Dimana Saja atau Selingkuh Aja Kok Repot atau judul seputar ranjang yg mengerikan. Itu baru seputar judul, belum lagi isinya yg polos dibiarkan tidak bersensor. Apa jadinya? Saya jadi bertanya? Apakah masyarakat kita sudah sampai pada pemahaman yg lebih dalam dari sekedar artifisial? Berapa banyak orang yg bisa melihat Nude photography sebagai sebuah seni? Jika Anda menyodorkan sebuah Nude photo berapa orang yg lantas berpikir tentang anglenya, pencahayaan, ketajaman area gelap/terang, atau mungkin lebih jauh penjiwaan. Masyarakat kita barangkali belum bisa memaknai sebuah pesan moral yg mungkin tersembunyi di balik karya seni. Seberapa dalam pesan moral “cinta seorang kakak kepada adiknya” akhirnya dipahami oleh penonton film Mendadak Dangdut? Atau malah yg diingat Cuma lagu dan istilah Jablay nya? Seberapa dalam penonton kita membawa pesan mari menjaga sebaik-baiknya kehormatan di film Virgin, dari pada sekedar menikmati tubuh molek Laudya Cintya Bella? Maka membiarkan masyarakat kita mengambil alih peran LSF memang bukan keputusan yg tepat saat ini. Menurut saya, masyarakat kita belum siap menjadi LSF-LSF pribadi yg bertanggungjawab atas pilihan film yg ditontonnya. Bukan karena saya sok suci, sok bermoral, tapi saya takut sesungguhnya di pundak kita juga ada beban besar untuk tidak membiarkan masyarakat kita disuguhi film2 tak bermutu karya para opportunis

Idealisme boleh saja dijunjung tinggi2, tapi sanggupkah kita menanggung dosa kolektif akibat dihapusnya Lembaga Sensor Film? saya setuju sekali kalau LSF tetap dipertahankan!! kalo pekerja seni yg tergabung dlm MFI katanya merasa terpasung kreatifiyasnya, maka sangat menyedihkan buat kalian wahai film maker, hanya dengan keberadaan LSF yang menjaga moraalitas bangsa yg sudah hancur dengan film-film ampral kalian, maka kalian merasa tidak bisa berkreasi?? katanya pekerja seni, masa baru gitu saja mandul , justru dgn adanya LSF, kalian dituntut untuk makin kreatif!! sekarang saja dengan adanya LSF kalian tetap brutal merusak bangsa ini dengan adegan amoral!!

Perkembangan sebuah eksitensi dalam dunia seni baik itu seni perfiliman ataupun dunia teknologi di Indonesia memberikan akses masyarakat dengan mudah memperoleh informasi. Dunia life style yang berkembang memberikan sebuah kemajuan pula terhadap dunia teknologi. Hingga saat ini sudah berapa banyak kerusakan dalam sebuah penilai dikarenakan perkembangan sebuah media teknolodi dan seperti dalam pembahasan pendidikan kemasyarakatan perihal life style memberikan sebuah pengaruh besar terhadapa dunia teknologi saat ini. Dimana masyarakat memberikan dan menilai akan LSFI tidak bermutu.

Pipit / 21083 / sosiologi

Thursday, April 17, 2008

Jejaring Pornografi dan Seksualitas Lewat Telepon

posted by : Lalita Atikandhari (21091)

Usia Ita sekitar 22 tahun. Dengan tubuh sintal yang tidak
seberapa tinggi, jujur saja gadis ini tidak masuk kategori cantik. Namun, gadis berdarah campuran Sumatra dan Sunda ini terlihat begitu menarik sore itu di salah satu mal di bilangan Slipi, Jakarta Barat.

Rok hitam sedengkul dengan blus warna biru yang dikenakannya
terlihat begitu serasi membalut kulitnya yang kuning langsat. "Hai, apa kabar. Sudah lama menunggu," ujar Ita dengan suara lembut.

Selain penampilannya yang lugu plus senyum manis, 'senjata'
paling ampuh lainnya yang dimiliki Gita adalah suara. Ya. Suara Gita memang bisa membuat pria yang mendengarnya melalui saluran telepon
'esek-esek' (party line) betah berlama-lama. Profesinya memang sebagai
operator telepon di salah satu penyedia jasa party line yang cukup punya nama di Jakarta dengan label Cewek Siap Saji disaluran 0809-100-50xx.

Setiap hari, tujuh hari dalam seminggu, Ita masuk 'kantor' sejak
pk.07.00 hingga pk.15.00 dengan target 150 menit perbincangan telepon setiap harinya. "Kalau nggak tercapai target, saya harus over time, kadang sampai pk.19.00 atau bahkan pk.21.00," tutur Ita kepada Bisnis.

Bila sampai batas over time tidak ada laki-laki iseng yang
menelepon, maka pemilik room nomor 108 ini harus siap-siap nombok keesokan harinya. "Kadang saya sehari bisa tembus 200 menit.
Kelebihannya bisa buat nombokin kekurangan yang kemarin," tambah gadis
yang mengaku rata-rata mendapat penghasilan Rp700.000 per bulan dari profesinya sebagai operator telepon party line.

Berbeda dengan Feby, sebut saja begitu namanya. Gadis asal Bogor
ini bisa mengantongi penghasilan Rp3,2 juta setiap bulan karena memiliki pelanggan yang nota bene adalah pegawai PT.Telkom.

"Sebulan rata-rata saya bisa mengantongi poin 15.000 menit.
Pelanggan saya yang orang Telkom malah sering menggantung teleponnya setelah puas bicara. Jadi 'argo' jalan terus. Maklum, di kalangan pegawai Telkom mereka sudah tahu cara menggunakan party line dengan tidak perlu
mengeluarkan uang dalam jumlah besar," kata Feby.


Bertambah marak

Memang, belakangan ini bisnis party line terlihat semakin
menjamur saja. Jumlah penyelenggara jasa premium call yang menawarkan party line diduga terus tumbuh. Hingga kini diperkirakan jumlahnya
telah mencapai sekitar 40 operator, baik yang mengantongi lisensi
penyelenggaraan jasa premium call ataupun yang tidak memiliki lisensi alias 'operator liar'. Pasalnya, saat ini di Ditjen Pos dan Telekomunikasi hanya terdaftar 24 operator premium call.

Pemerintah memang telah beberapa kali melakukan razia
penyelenggara layanan telepon premium call yang dinilai berpotensi melanggar aturan hukum. Namun, pihak terkait tidak menemukan adanya pelanggaran penyelenggara jasa premium call tersebut.

Di beberapa surat kabar, penyedia jasa party line bahkan tak
segan-segan mengiklankan 'dagangan' secara vulgar. Sebut saja saluran GB (0809-1-588-5xx) yang mematok tarif Rp1.710 per 30 detik untuk fix phone dan sekitar Rp3.000 untuk penelepon yang menggunakan handphone dengan sim card Simpati, ProXL, dan Flexi.

Meskipun di iklan tertulis No sex, SARA, politic, 18+ only, tetap
saja saluran ini menawarkan fantasi seks dengan kata-kata. Kemudian di saluran yang lain (0809-104-30xx) iklan penyedia jasa party line lainnya berbunyi begini: Oooh...! Sakit tau...! Tapi, enak juga sich...!

Kemudian ada lagi yang beriklan lebih menggiring calon penelepon
dengan kata-kata yang sedikit kampungan seperti Colokin bang..., Obral nikmat, Gadis binal, Udah nggak tahan nih, kita lakukan
sekarang yuk...!, Janda-janda kaya mencari laki-laki perkasa yang tahan
24 jam, Kencan semalam atau cari simpanan, Mainan lelaki, Main yuk...! Main apa aja deh, yang penting bisa bikin Tina berkeringat, dan masih banyak lagi slogan yang membuat pembaca terpincut ingin mencoba.

Namun, dari penelusuran Bisnis ke beberapa penyedia jasa party
line, tampaknya belum ada penyedia jasa yang benar-benar menyediakan 'operator' dengan keterampilan pengetahuan yang mumpuni.
Mereka, rata-rata hanya pandai merayu dengan nada kolokan yang malah
terkesan membosankan.

"Dulu gua sering gabung di 'klub gatel' [istilah untuk
orang-orang yang gemar menggunakan jasa party line]. Tapi lama kelamaan, bosan, begitu-begitu aja," ujar Agung, seorang manajer bank swasta
yang mengaku pernah menghabiskan pulsa telepon hingga Rp2,5 juta per
bulan untuk melakukan fantasi seks via premium call.

Menurut penuturan Agung, sebagian besar operator party line yang
pernah menjadi langganannya bisa diajak 'kopi darat' alias bertemu muka. "Tapi tidak semuanya bisa langsung diajak check in.
Hanya satu dua orang saja, itu pun kalau kita sudah akrab dan terhitung
sering menelepon dia,"tambahnya.

Mengenai biaya besar yang mesti dikeluarkan setiap bulannya,
Agung mengaku tidak keberatan dengan semua itu. "Selain bisa memuaskan nafsu sesaat, seks via telepon kan lebih aman, nggak akan tertular penyakit."

Banyak caller (istilah untuk penelepon party line) yang tidak
peduli dengan semua itu. Padahal, sekali masuk ke saluran party line, operator akan habis-habisan menjerat caller berlama-lama mendengar desahan mengundang birahi. Imajinasi seks itulah yang menjadi daya pikat layanan party line.


Hal Wajar

Menurut Ferryal Loetan, konsultan seks dari RS Persahabatan
Jakarta, maraknya jasa telepon seks atau party line sebagai hal yang wajar terjadi di negara yang selama ini menutup diri terhadap
masalah seksual seperti halnya Indonesia. Jasa semacam itu, kata dia,
akan terus bermunculan selama masih diminati konsumen. "Sama seperti orang berdagang, ada penjual ada pembeli," katanya.

Meski begitu Ferryal mengatakan hal ini tidak perlu disikapi
berlebihan karena pada taraf tertentu mereka yang menjadi pengguna jasa party line akan mengalami kejenuhan. Dia mencontohkan kasus yang terjadi di AS. Sekitar 1970-1980, jasa sejenis juga marak di Negeri Paman Sam itu. Namun lambat laun mati dengan sendirinya. "Begitu juga di sini, diamkan saja,
tidak usah terlalu berlebihan. Nanti juga jenuh sendiri."

Penelitian khusus perihal jasa party line memang belum pernah
dilakukan, namun Ferryal meyakini sebagian besar penggunanya berasal dari kalangan remaja yang merasa penasaran dan ingin tahu, terlebih setelah melihat iklan-iklan menggiurkan yang marak di media cetak.

Namun, tambahnya, tidak tertutup kemungkinan jasa ini juga
digunakan oleh orang-orang dewasa yang iseng dan kebetulan mempunyai kesempatan. "Bisa saja mereka menggunakan telepon dari kantor,
soalnya tarif telepon untuk ini terbilang mahal," jelasnya.

Saluran telepon seks atau menurut istilah Ferryal Loetan
'mengekspos seksual dalam bentuk audio' merupakan bentuk lain pencarian sensasi erotisme, ternyata bisa juga dilakukan dengan istri
atau pacar untuk meningkatkan gairah pasangan. "Awalnya kita buat
skenario sendiri, mulai dari foreplay, intercouse, dan seterusnya," tuturnya

Hanya perlu diingat, mereka yang sampai ketagihan melakukan sex
by phone, terutama yang melakukannya melalui jasa-jasa yang kini marak, menurut Ferryal adalah orang-orang yang pada dasarnya kurang percaya diri.

Pornografi Lewat Ponsel


posted by : Lalita Atikandhari (21091)

Seiring berjalannya waktu, teknologi semakin maju dan berkembang, pornografi turut menyertainya, tak terkecuali telepon seluler (ponsel). Dengan alat komunikasi mini itu, orang bebas menikmati gambar porno sekaligus berfantasi seks.

Apa itu pornografi atau pornoaksi? Banyak pendapat dan argumen tentang hal itu. Ada yang memberi batas begitu ketat, namun ada kalangan yang mendefinisikan secara longgar. Meski demikian, baiknya kita merujuk kepada pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi. Dalam butir 1 disebutkan, menggambarkan secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame. iklan maupun ucapan baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haratn. Sedangkan dalam butir kedua disebutkan, membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikari adalah haram.

Di tanah air, selain peredaran VCD porno maupun media-media porno, ada hal lain yang perlu diwaspadai berkaitan dengan pronografi dan pornoaksi, yakni acara-acara seperti infotainment di televisi. Pasalnya, tayangan dimaksud scring menayangkan pornografi dan pornoaksi dengan alasan acaranya digemari masyarakat. Ini, biasanya dibuktikan dari tingginya rating. Padahal, kalau mau jujur, aiasan ‘tingginya rating’ merupakan pandangan subyektif sebagai pengaruh liberalisme. Kita tentu tahu, liberalisms selalu mengedepankan paradigma pasar.

Pornografi memang selalu mengikuti teknologi baru. Di awal kemunculan televisi, orang hanya menyiarkan hal-hal positif, Lama-kelamaan pornografi ikut ambi! bagian di dalamnya. Demikian pula internet yang kehadirannya kemudian disusul dengan website pornografi, email, bahkan juga fitur chatting yang dibelokkan menjadi cybersex.

Telepon seluler (ponsel) yang menjadi alat komunikasi andalan saat ini juga tidak luput dari sentuhan pornografi. Mereka yang memiliki ponsel, siapa pun dia, bahkan ustadz atau kiyai sekalipun, dipastikan pernah menerima SMS seks. Bahkan, dengan niatan bercana, SMS seks itu (biasanya) dikirim kembali ke teman atau orang-orang dekat. Bahkan: diantara pemilik ponsel ada lagi gejala yang lebih berani, yakni berfantasi seks melalui SMS. Biasanya ini dilakukan oleh pasangan suami istri, pasangan kekasih atau pasangan selingkuh. Kata-kata yang dikirim dalam SMS jenis ini cukup menggoda dan bisa membangkitkan gairah.

Kecenderungan mengirim pesan seks atau berfantasi seks melalui ponsel ini makin menjadi-jadi sejak lahirnya ponsel generasi ketiga alias 3G, Ponsel serba bisa ini dilengkapi dengan kamera dan fitur Multimedia Messaging Services (MMS). Dengan ponsel jenis ini, pemakai bias dengan mudah memotret pelbagai objek menarik, termasuk objek-objek porno dan erotis, lalu mengirimkannya ke nomor mana saja yang ia mau. Maka jangan heran kalau suatu saat kita menerima gambar tidak senonoh yang dikirim orang tak bertanggung jawab atau bahkan dari orang dekat kita sendiri.

Tak bisa dipungkiri, dewasa ini penggemar kirim mengirim gambar porno lewat ponsel adalah remaja belasan tahun yang dikategorikan ABG alias anak baru gede. Pertengahan April lalu, umpamanya, ada cerita memalukan dari Cirebon, Jawa Barat. Sepasang siswa sebuah SMP di kota ini, karena merasa saling cinta, si gadis rela membuka dadanya untuk dipotret teman prianya dengan ponsel. Seminggu kemudian, semua pelajar yang punya ponsel di sekolah itu sudah terisi gambar gadis itu bertelanjang dada. Tak kecuali ponsel guru-guru di SMP itu juga dikirim gambar porno tersebut. Karena menanggung malu, orang tua si gadis menuntut secara hukum pembuat foto porno itu kemudian memindahkan sekolah anaknya.

Dewasa ini, dimulai dari negera-negara maju, di tanah air mulai timbul “perusahaan” dengan sengaja menawarkan layanan pornografi bagi pemilik ponsel. Memang, tak bisa dibantah, bahwa pornografi dan ponsel 3G bisa berjalan bersama, sebab ponsel kini sudah menjadi suatu piranti yang bersifat pribadi. Bahkan SMS melalui ponsel memiliki nilai yang jauh lebih pribadi dibanding sekadar e-mail. Dan sama seperti media lain, ponsel dipakai sebagai media efektif untuk menyampaikan hal-hal berbau pornografi oleh sebagian oknum yang ingin mengambil keuntungan dari kondisi ini.

Bahkan, “perusahan” penyedia pornografi di ponsel itu membuka sebuah layanan yang memungkinkan seorang pengguna ponsel bisa “berkenalan” dengan bintang-bintang porno seperti Silvia Saint, Jodie Moore atau Nikki Blonde. “Perkenalan dengan artis-artis itu melalui ponsel akan meninggalkan kesan berbeda dari sekadar menyaksikan mereka di layar televisi atau film,” demikian salah satu bunyi iklannya.

“Perusahaan” itu juga menyediakan banyak klip pendek yang langsung bias Anda lihat di layar ponsel. “Gadis-gadis itu akan memandang Anda langsung dan berbicara dengan Anda. Tampilan macam ini tidak bisa didapatkan di televisi,” demikian bunyi lain berpromosinya. Pornografi lewat ponsel ini bakal lebih marak, karena —seperti berita yang dirilis beberapa waktu lalu— pebisnis pornografi! global seperti (majalah) Playboy dan Penthouse akan memberi lisensi gambarnya untuk diedarkan melalui ponsel.

Kehadiran ponsel 3G memang menggembirakan bagi para, penggila teknologi. Tapi tidak demikian halnya dengan mereka yang masih menjunjung tinggi moralitas, Karena, apa jadinya kalau sesorang di kamar ganti kolam renang atau tempat lainnya bisa dengan mudah dipotret, kemudian gambar itu disebarluaskan melalui ponsel dan internet? Di Manchester, Inggris, kini telah diberlakukan larangan menggunakan ponsel di sejumlah tempat seperti pusat olahraga, toilet dan pemandian umum, Larangan ini berkenaan dengan kekawatiran warga setempat akan ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab yang bisa mengambil gambar orang lain dalam kondisi tanpa busana dan menyalahgunakannya.

Sebenarnya, pornografi lewat telepon bukan hanya didominasi oleh ponsel. Jauh sebelum ponsel 3G ini menjamur, di kota-kota sudah marak telepon porno yang disebutan premium call, alias nomor telepon yang diawali dengan angka 0809. Apalagi yang “dijual” di sini kalau bukan fantasi seks, Premium call porno ini, diiklankan dengan foto gadis berbusana minim sekaligus kata-kata mengundang birahi - bukan hanya lewat media cetak yang dikenal mengusung tema porno tapi juga lewat media biasa. Bahkan, sebuah harian di Jakarta yang memiliki rubrik agama, memuat iklan jenis ini secara teratur.

Thursday, April 10, 2008

VCD Porno Bajakan dan Hubungannya dengan Problema Kemiskinan Dunia III



Posted By: Dismas Hayu (21066)

Modernisasi dan globalisasi yang terus bergerak maju ternya tidak saja membawa dampak positif bagi banyak orang melainkan juga dampak negatif yang dapat dirasakan sekalipun dampak tersebut tidak serta merta langsung dirasakan, melainkan melalui proses yang cepat dan sulit untuk disadari. Tanpa teras kita semua baik secara langsung maupun tidak kini dapat merasakan dampak negatif dan positif dari adanya modernisasi dan globalisasi termasuk di Indonesia sendiri yang senyatanya merupakan salah satu negara sedang berkembang di wilayah Asia.

Sebagai dampak dari semakin berkembangnya arus globalisasi, adalah teknologi komunikasi dan elektronik yang semakin maju dan memudahkan masyarakat untuk melakukan hubungan komunikasi dari jarak ribuan kilometer, untuk mentransfer uang dengan cepat hingga memindah data dengan cepat dari bentuk satu ke bentuk lain yang berbeda. Kemudahan tersebut tentunya sangat dinikmati oleh banyak orang termasuk bagi kita yang berada di Indonesia. Kemudaha dalam mengakses teknologi menjadi bagian dari kehidupanyang dinikmati oleh banyak orang di negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam perkembangannya, teknologi di negara maju telah berhasil menegakkan kehidupan Industrialis mereka. Dampak tersebut kemudian mengancam kehidupan negara berkembang yang banyak bergerak di sektor pertanian. Menurut teori dependency Permintaan terhadap barang pertanian tidak elastisàberlaku hukum engels (pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentase konsumsi makanan thd pendapatan menurun). Pendapatan yang naik kemudian tidak akan menaikkan konsumsi makanan tetapi konsumsi barang-barang industri. Akibatnya sektor pertanian banyak ditinggalkan dan masyarakat beralih ke sektor sektor informal dimanamerekadapat menjangkau sektor tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian yang menjanjikan.

Fenomena menarik yang kemudian dapat dilihat dari sini adalah bagaimana masyarakat mampu menciptakan kehidupan mereka dan bertahan dari kesulitan mereka dari sektor informal. Adapun salah satunya adalah penjualan VCD porno bajakan.

Semakin mudahnya orang memindah data mak semakin banyak cara dan ide “kreatif” seseorang untuk bertahan hidup. Sekalipun melanggar hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa peredaran VCD porno bajakan saat ini cukup marak. Apalagi hanya dengan menggunakan peralatan berupa CD RW(RE-Writeable), seseorang dapat menciptakan seniri VCD yang mereka inginkan dengan mengcopy film dalam bentuk data di komputer menjadi film dalam bentuk kepingan laser yang kemudian dapat dijual di kaki lima maupun emperan emperan teknologi.
Apakah hal ini dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan teknologi? Memang, di satu sisi hal tersebut merupakan suatu tindakan melawan hukum akan tetapi bila melihat dari sisi kemanusiaan, orang orang tersebut telah mampu menciptakan ide kreatif untuk membuat mereka mampu bertahan hidup. Tidak bisa kita elakkan pula bahwa pornografi adalah “hiburan” yang menarik bagi masyarakat negara Dunia III.

Problema Kemiskinan Dunia III merupakan problema yang kompleks dimana banyak hal yang menjadi penyebabnya. Demikian jugalah yang dibahas dalam perkuliahan problema kemiskinan dunia III. Adapun dalam kasus peredaran VCD porno bajakan dengan kaitannya terhadap problema kemiskinan adalah ternyata peredaran VCD porno merupakan jalan keluar yang buruk bagi pengentasan kemiskinan orang orang di negara dunia ketiga. Mengapa demikian?
Pertama, pembuatan VCD bajakan melanggar hak cipta den peredarannya juga dikenakan hukum pidana bagi mereka yang terlibat. Kedua adalah bahwa dari sisi informal, adalah baik jika masyarakat mampu menciptakan sektor informal sebagai jalan bagi kehidupan ekonomi mereka akan tetapi menggunakan teknologi untuk tindakan kriminal adalah juga pelanggaran melawan hukum, dan hukum pidana juga menanti bagi mereka yang ikut terlibat didalamnya.
Lantas apa yang bisa kita sikapi dari fenomena tersebut. Ialah baik adanya, sekalipun kita berada di negara dunia ketiga akan tetapi kita mampu menggunakan teknologi sebagaimana seharusnya. Hukum dan undang undang juga masih berlaku dinegara ini, oleh karena itu sebagai warga negara yang baik kita wajib menaatinya. Selain itu sudah saatnyalah pemerintah mulai memerhatikan sektor informal sehingga masyarakat miskin tidak lagi melakukan tindakan kriminal seperti menjual VCD porno bajakan. Apabila sektor informal diarahkan dengan baik maka di harapkan kasus kasus pelanggaran yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi tidak lagi dilakukan oleh masyarakat miskin.


Film Laris di Indonesia Haruskah Selalu Eksploitasi Tubuh

Posted by: Dismas Hayu (21066)

Industri perfilman Indonesia sudah semakin berkembang, hal ini dapat dilihat dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. Semenjak berakhirnya masa film Catatan si Boy, Warkop DKI dan Benjamin S, industri perfilman Indonesia mengalami mati suri yang sangat menyedihkan. Tidak banyak film yang banyak diproduksi setelah era tersebut hingga akhir tahun 90-an.

Pada awal tahun 2000, Miles Production mengeluarkan Petualangan Sherina (2000) sebuah film anak anak yang memiliki nilai pendidikan sekaligus menjadi pemuas dahaga masyarakat Indonesia akan film. Setelah itu pada tahun berikutnya kembali muncul film dengan tema berbeda yakni drama cinta siswa SMA dengan judul Ada Apa Dengan Cinta (2001). Kedua film tersebut seolah menjadi pembuka berkembanganya industri perfilman Indonesia pada tahun tahun berikutnya. Hal ini dapat dilihat begitu banyaknya film yang bermunculan sesudah kedua film tersebut berhasil meledak di pasaran.

Sangat menyedihkan apabila kemudian genre perfilman Indonesia harus diisi dengan tema tema yang monoton. Ketika tema yang tengah beredar mengenai percintaan, maka film yang akan beredar di pasaran pun film dengan tema tema yang sejenis,mulai dari percintaan anak anak SMA sampai kisah cinta anak kecil (ex:I Love U OM,2006). Lain lagi yang beredar jika tema yang sedang trend adalah tema seputar horor, maka akan muncul puluhan bahkan mungkin ratusan film horor baik yang box office maupun bukan, mulai dari yang sangat menyeramkan, komedi horor, sampai yang benar benar menjenuhkan dan membuat kita tertawa. Bukan karena filmnya atau setannya kurang menyeramkan akan tetapi jalan cerita dan juga akting dari pemainnya yang justru membuat kita tertawa dan berkomentar “film kayak gini kok bisa dijual dan ada yang nonton yah?”

Belum lagi komedi yang menjenuhkan, sarat akan guyonan berbau seks serta kata kata yang semakin tidak lolos sensor (ex: umpatan kasar, umpatan bernada seks). Industri perfilman kita seolah membuat film tidak lagi melihat kualitas akan tetapi hanya melihat sisi laris atau tidakanya, menjual atau tidak serta trend atau tidak. Banyak hal yang kemudian menjadi dipaksakan dalam sebuah proses pembuatan film, mulai dari tema, jalan cerita hingga akting dari para pemainnya.

Dalam perkembangan 3 tahun terakhir ini, dapat kita lihat kesamaan dari film film yang banyak beredar di Indonesia. Banyak diantaranya menyinggung seksualitas, mulai dari percintaan, adegan mesra dalam film anak anak sampai adegan perkosaan yang seolah olah itumenjadi daya tarik tersendiri dalam sebuah film walaupun dengan konsekuensi melenceng dari jalan cerita atau jalan cerita yang menjadi seolah dipaksakan.

Menghibur memang. Bebrapa film komedi yang belum lama beredar di bioskop seperti The Bijis, Quickle Express, Kawin Kontrak, Otomatis Romantis ,Mengejar Mas Mas, Maaf Saya Menghamili Istri Anda,dan masih banyak lagi hingga yang terakhir beredar adalah DO (Drop Out), secara keseluruhan film tersebut banyak mengandung unsur seksualitas yang mungkin bagi sebagian orang menghibur dan bagi sebagian yang lain menjadi menjemukkan dan menjijikkan.

Dengan melihat perfilman adalah sebuah industri yang sarat dengan teknologi di dalamnya, saya akan menghubungkannya dengan kuliah Pendidikan Kemasyarakatan (Sosiatri). Terutama dalam hal ini berkaitan dengan perfilman yang beredar dan berkembang di Indonesia yang semakin lama semakin menurun kualitasnya dan semakin sarat akan pornografi terselubung yang dimuat di dalamnya.

Dalam mata kuliah Pendidikan Kemasyarakatan, banyakj yang dapat dipelajari mengenai pendidikan baik dalam bentuk moral maupun pendidikan etika yang berkembang di masyarakat dimana persebarannya melalui media elektronik maupunmedia lainnya. Dapat kita lihat bagaimana masyarakat dididik melalui media untuk bisa mengkritis setiap perkembangan yang ada dan menyikapi hal tersebut sebagai sebuah pelajaran baik bagi mereka.

Dalam perfilman Indonesia yang terdapat adegan adegan seksual terdapat banyak kritik untuk pendidikan di masyarakat terlebih bagi anak anak usia 17 tahun ke bawah. Mengapa? Karena usia 17 tahun merupakan usia pendewasaan diri dimana manusia tidak lagi disebut anak anak tetapi juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Sebelum masa ini, anak anak haruslah diberikan pengarahan tentang bagaimana yang sebaiknya dan bagaimana yang tidak.

Adapun keterkaitan antara usia tersebut dengan perfilman Indonesia yang sarat akan Sexualitas adalah bahwa penjagaan dan pengawasan film di Indonesia masih belum ketat. Fungsi dan peran orang tua, keluarga, saudara masih sangat digunakan di Indonesia sebagai pembimbing anak anak dalam mengarahkan film mana yang sebaiknya ditonton serta film mana yang sebaiknya tidak. Munculnya banyak film berbau seks memang ada sisi positif yang dapat dilihat, yaitu sebagai media untuk pendidikan seks anak anak dan remaja. Akan tetapi kerap kali masyarakat terkecoh, dimana ketika film tersebut dikatakan komedi atau horor, tetap saja ada isi film yang adegannya berbau seks seperti perkosaan dan percintaan (ex: Sundel Bolong). Belum lagi banyak orang tua yang kurang memerhatikan hiburan yang baik untuk anak anak mereka (di bioskop) ditambah kritis dan antusiasme anak anak dan remaja saat ini untuk menonton di bioskop yang tidak diimbangi dengan peraturanyang melindungi konsumen dari pendidikan yang berlebihan dan tidak tepat.

Teknologi yang semakin berkembang di dunia perfilman Indonesia seharusnya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan yang baik untuk masyarakat, tidak saja untuk mendapatkan untung yang sebesar besarnya. Sudah saatnya teknologi dalam industri perfilman digunakan sebagai sarana pendidikan masyarakat baik sejarah, pendidikan moral maupun pendidikan seks sekalipun, dengan catatan disebarluaskan sebagaimana seharusnya dengan peringatan sebelumnya bahwa usis 17 tahun ke bawah harus diberikan pendampingan.

Film film dengan tema mendidik masih sangat jarang kita jumpai di Indonesia, setelah Petualangan Sherina (2000), Joshua Oh Joshua (2002), Naga Bonar Jadi 2 (2007), adakah film film lain yang mampu menggebrak dunia industri perfilman Indonesia dengan tema yang mendidik dan adegan yang juga tidak hanya sekadar menjual tapi juga sarat akan totalitas dan penghayatan karakter disana.

Semoga Indonesia mampu menggunakan teknologi film sebagai sarana pendidikan. Sehingga diharapkan film film yang berkualitas rendah dengan hanya menampilkan adegan adegan berbau seksual dapat semakin berkurang. Hal ini tentunya akan berdampak sangat baik bagi pendidikan di masyarakat. Bagaimana masyarakat juga dapat pendidikan dari sebuah film, tidak hanya mendapatkan hiburannya saja.