Monday, April 21, 2008

Polemik Dibalik Ikhtiar Baik Lembaga Sensor Film (LSF)

Posted By: Pipit Pradibta (21083)

SEJUMLAH sineas muda seperti Dian Sastro, Shanty, Riri Riza, Mira Lesmana, dan Nia Dinata yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) sepakat meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membubarkan Lembaga Sensof Film (LSF).Mereka menuntut uji materiil terhadap UU No 8 tahun 1992 tentang perfilman di Mahkamah Konstitusi, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (24/1). Dian memang menjadi saksi dalam persidangan. Bahkan sebelumnya, Dian berjanji akan menyampaikan semua uneg-unegnya tentang kinerja LSF. Dian dan kawan-kawan beranggapan kalau LSF sudah tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Menurut mereka, undang-undang nomor 8 tahun 1992 sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dengan animo perfilman Indonesia Sementara itu, sutradara film Deddy Mizwar dalam persidangan kemarin mengungkapkan kebebasan berekspresi di dunia perfilman Indonesia harus tetap diatur dan diawasi oleh sebuah lembaga dengan pedoman dan kinerja yang lebih baik dari LSF. Deddy yang berbicara sebagai Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) adalah Pihak Terkait Langsung dalam persidangan tentang Uji Matriil UU Perfilman yang diajukan oleh sejumlah insan perfilman yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI). Menurut Deddy lembaga baru yang dibentuk akan menggantikan Lembaga Sensor Film yang selama ini tidak relevan lagi. Sutradara film Nagabonar Jadi 2 dan Kiamat Sudah Dekat itu mengungkapkan LSF kini tidak ideal lagi sehingga banyak pedoman dan aturan di dalamnya yang harus diubah.
"Tapi bukan berarti kalau LSF tidak ada, peredaran film dan segala muatan di dalamnya lantas bisa seenaknya tanpa aturan. Aturan pasti ada, ibaratnya saya beli mobil apapun mereknya ya terserah saya, tapi kalau saya sudah berada di jalan raya maka saya harus tunduk pada aturan berlalu-lintas," ujarnya

lembaga sensor film merupakan suatu lembaga yang (lagi-lagi menurut saya) sebagai citra atau jati diri sebuah bangsa timur yang sedang berkembang. Bagi saya, lembaga sensor film Indonesia merupakan sebuah lembaga yang sangat2 bagus dan mutlak adanya di bangsa ini. Dengan adanya lembaga tersebut maka bangsa ini menunjukan kepedulian nya akan moral masyarakat terutama generasi penerus. Terlepas dari kinerja lembaga yang buruk, asal-asalan, atau seenaknya memotong film, bagi saya lembaga sensor film merupakan hal yang harus ada di bangsa ini. Saya tak begitu mengerti apa tujuan dari mereka yang (mengaku) sebagai masyarakat film atau apalah yang mengatakan dengan tidak adanya lembaga sensor maka masyarakat Indonesia bisa lebih cerdas dan ˜membuka mata pada keadaan sekitar. Kata-kata membuka mata menurut saya sangat relatif. Apabila mereka para pembuat film ingin menampilkan sesuatu yang mungkin sesuatu yang natural, atau cerdas, atau bagus, atau apalah..mengapa harus membubarkan lembaga sensor??mengapa tidak membenahi lembaga tersebut tanpa membubarkan nya.

sebuah film yang berkualitas adalah film yang bisa menampilkan sebuah makna yang berupa pembelajaran untuk suatu hal yang kemudian bisa membuat kita para penonton bisa mengambil hikmah POSITIF untuk dijadikan pola pemikiran di masa datang. Dan bagi saya, membuat film berkualitas seperti yang saya sebutkan itu tidak harus menampilkan sesuatu yang kejam, buruk, sadis, brutal, tau bahkan porno. Walaupun keadaan sebenarnya memang seperti itu. Come on guys, ini bangsa yang telah berbudaya selama ribuan tahun. Jangan mengubur atau menghapuskan semuanya hanya karena atas nama perubahan. Tidak selamanya perubahan itu membuat semuanya menjadi lebih baik.

Bagi saya pembenahan lembaga sensor film lebih utama dibandingkan membubarkan nya

Permintaan untuk meniadakan Lembaga Sensor Film Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang dimotori oleh sineas-sineas muda merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan pada beberapa tahun terakhir kondisi perfilman Indonesia mulai menunjukkan geliat kehidupan setelah lama mati suri. Namun tak disangka tatkala ruh perfilman mencoba untuk bangkit maka yang divonis sebagai penghambat utama perkembangannya adalah Lembaga Sensor Film.

Saya 100% yakin, Nia Dinata, Riri Reza tidak mungkin membuat film murahan Kemampuan mereka sbg film maker yg di atas rata-rata itu, adalah sebuah jaminan mutu atas sebuah film yg berani menaruh nama mereka sbg sutradara/produser. Martabat, reputasi merekalah yg menjadi taruhan. Jadi orang sekaliber mereka tidak mungkin membuat film bertema esek-esek, film-film yg bertema dekonstruksi moral, ADA atau TIDAK ADA Lembaga Sensor Film sekalipun. Pertanyaannya, berapa banyak sutradara/produser kita yg bisa bikin film bermutu? Mari hitung! Dan kita semua akan terhenyak karena yg eksis tak sampai hitungan jari. Sebut saja; Garin, Nia Dinata, Dedi Mizwar, Riri Reza dan Ari Sihasale. Hanya mereka yg istimewa. Cuma segelintir itulah yg berhasil membuat penonton film pulang dg membawa pesan moral. Sisanya ? Absurd.

90% film-film kita dangkal akan pesan moral. Artinya, jauh dan jauh lebih banyak sutradara / produser film yg bermain sebagai oportunis dari pada memberikan tayangan yg mendidik. Coba liat, berapa banyak film kita yg sarat pesan moral seperti Forrest Gump atau Children of Heaven? Jumlahnya setiap tahun tak sampai dua. Tapi hitung, berapa banyak film kita yg Cuma menyodorkan atribut artifisial yg dinikmati kasat mata? Buruan Cium Gue, Mendadak Dangdut atau film horor yg gak jelas apa maunya. Jumlahnya? Fantastis. Dengan rasio njomplang seperti ini, apa benar peran Lembaga Sensor Film tak lagi dibutuhkan?

Mari berandai-andai apabila para sutradara opportunis itu dibiarkan berkreasi tanpa LSF. Wow, pasti seru. Dapat dipastikan, ribuan judul carut marut akan rebutan berbagi banner utk dipasang di cinema2. Buruan Cium Gue mungkin akan berseri menjadi 7 episode, plus film-film remaja yg mungkin judulnya seabsurd filmnya, misalnya: Cium Gue Dimana Saja atau Selingkuh Aja Kok Repot atau judul seputar ranjang yg mengerikan. Itu baru seputar judul, belum lagi isinya yg polos dibiarkan tidak bersensor. Apa jadinya? Saya jadi bertanya? Apakah masyarakat kita sudah sampai pada pemahaman yg lebih dalam dari sekedar artifisial? Berapa banyak orang yg bisa melihat Nude photography sebagai sebuah seni? Jika Anda menyodorkan sebuah Nude photo berapa orang yg lantas berpikir tentang anglenya, pencahayaan, ketajaman area gelap/terang, atau mungkin lebih jauh penjiwaan. Masyarakat kita barangkali belum bisa memaknai sebuah pesan moral yg mungkin tersembunyi di balik karya seni. Seberapa dalam pesan moral “cinta seorang kakak kepada adiknya” akhirnya dipahami oleh penonton film Mendadak Dangdut? Atau malah yg diingat Cuma lagu dan istilah Jablay nya? Seberapa dalam penonton kita membawa pesan mari menjaga sebaik-baiknya kehormatan di film Virgin, dari pada sekedar menikmati tubuh molek Laudya Cintya Bella? Maka membiarkan masyarakat kita mengambil alih peran LSF memang bukan keputusan yg tepat saat ini. Menurut saya, masyarakat kita belum siap menjadi LSF-LSF pribadi yg bertanggungjawab atas pilihan film yg ditontonnya. Bukan karena saya sok suci, sok bermoral, tapi saya takut sesungguhnya di pundak kita juga ada beban besar untuk tidak membiarkan masyarakat kita disuguhi film2 tak bermutu karya para opportunis

Idealisme boleh saja dijunjung tinggi2, tapi sanggupkah kita menanggung dosa kolektif akibat dihapusnya Lembaga Sensor Film? saya setuju sekali kalau LSF tetap dipertahankan!! kalo pekerja seni yg tergabung dlm MFI katanya merasa terpasung kreatifiyasnya, maka sangat menyedihkan buat kalian wahai film maker, hanya dengan keberadaan LSF yang menjaga moraalitas bangsa yg sudah hancur dengan film-film ampral kalian, maka kalian merasa tidak bisa berkreasi?? katanya pekerja seni, masa baru gitu saja mandul , justru dgn adanya LSF, kalian dituntut untuk makin kreatif!! sekarang saja dengan adanya LSF kalian tetap brutal merusak bangsa ini dengan adegan amoral!!

Perkembangan sebuah eksitensi dalam dunia seni baik itu seni perfiliman ataupun dunia teknologi di Indonesia memberikan akses masyarakat dengan mudah memperoleh informasi. Dunia life style yang berkembang memberikan sebuah kemajuan pula terhadap dunia teknologi. Hingga saat ini sudah berapa banyak kerusakan dalam sebuah penilai dikarenakan perkembangan sebuah media teknolodi dan seperti dalam pembahasan pendidikan kemasyarakatan perihal life style memberikan sebuah pengaruh besar terhadapa dunia teknologi saat ini. Dimana masyarakat memberikan dan menilai akan LSFI tidak bermutu.

Pipit / 21083 / sosiologi

2 comments:

Anonymous said...

setuju...
jangan kita mengatasnamakan nilai-nilai kebebasan untuk mengekspresikan seni tanpa melihat esensi nilai-nilai moral kita apalagi sebagai orang timur. film-film yang berbau "aneh" pun dengan adanya LSF tetap beredar. adegan mesra yang sebelumnya gak bpoleh tayang jaman0jaman dulu sekarang dianggap sebagai gaya hidup yang biasa. jangan dibubarkan tapi rombak kinerja, tentukan dan tegaskan lagi untuk apa LSF. untuk sineas yang merasa terkekang dengan LSF, harus disadari bahwa kita tinggal dimnegara yang ada pemerintahnya ada peraturan. selama peraturan ini tidak berbau sara maka sadarilah ini cuma sebagai batas nilai moral yang harus kita pahami...

Anonymous said...

Saya juga heran waktu para sineas muda berbakat tsb protes dan meminta LSF dibubarkan. Apa jadinya bangsa ini jika ada LSF saja, film2 yang beredar sudah sedemikian "kacau".
Bukan dibubarkan tapi kaji kembali regulasinya. Kita tinggal di negara yang mayoritas muslim dan menjunjung tinggi norma kesopanan dan kesusilaan.
Tolong jangan berkedok terpasungnya kreativitas, karena seseorang justru harusnya menjadi semakin kreatif saat berada dalam kondisi dibatasi.
Lihatlah fenomena Ayat2 Cinta yang justru melawan arus derasnya film2 yang mengumbar aurat serta film2 mistis, namun menuai sukses dengan mengumpulkan lebih dari 3 juta penonton!
Atau menangnya Naga Bonar 2 dalam Indonesian Movie Award 2008 sbg film terbaik, yang proses penjuriannya juga dilakukan pemirsa TV melalui vote SMS!
Dan sebentar lagi saya yakin Laskar Pelangi akan menyusul : )
Dari situ qta dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya ada banyak masyarakat kita yang rindu pada tontonan bermutu dan mendidik, bukan hanya karena ikut arus dan mengejar keuntungan belaka.